
Thio Him Tjiang, pemain sepak bola nasional tahun 1950-an
Penulis: Clarissa Pranata
Satu nusa…, satu bangsa…, satu bahasa kita..
Tanah air pasti jaya untuk s’lama-lamanya…
Bibirnya tersenyum lebar seusai menyanyikan lagu nasional Indonesia itu. Setelahnya, ia lanjut bersenandung “Que Sera Sera”. Lelaki tua itu memang suka menyanyi, di sela-sela pembicaraan ia sering melantunkan nada-nada sendiri. Senyumnya memperlihatkan deretan gigi yang tersisa, hanya deretan atas yang masih ada. Kulitnya putih, tetapi keriput. Kepalanya hampir botak, jarang-jarang terlihat helaian rambut putih, hanya alisnya yang masih tebal. Kakinya sudah sulit berjalan, hingga harus duduk di kursi roda. Matanya memancarkan kepolosan, layaknya seorang anak kecil.
Tahun 1953, ia masuk dalam tim sepakbola nasional Indonesia. 8 tahun ia berjuang mengharumkan nama Indonesia lewat dunia olahraga. Tahun 1956, tim Indonesia mengikuti olimpiade di Melbourne, Australia. Tim Indonesia berhasil menahan Uni Soviet (saat ini Rusia) 0-0, di mana Uni Soviet merupakan salah satu tim terkuat saat itu. Walau akhirnya kalah 4-0 pada pertandingan ulang, nama Thio Him Tjiang tercatat sebagai bagian dari salah satu pertandingan paling bersejarah bagi tim sepakbola Indonesia.
Thio Him Tjiang lahir di Jakarta pada 28 Agustus 1929. Ia adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, semuanya merupakan pemain sepakbola di klub UMS (Union Makes Strength) Jakarta, hanya adik perempuannya yang paling kecil tidak bermain sepakbola. Namun, dari semua saudaranya hanya dia yang berhasil terpilih masuk ke dalam PSSI.
Ketika pertama kali ditemui, lebih dari sepuluh kali ia menanyakan pertanyaan yang sama. “Sudah makan? Jangan malu-malu kalau mau makan”, juga “kamu tinggal di mana? Orang tua di Jakarta?”. Ketika sedang berbincang-bincang pun ia masih saja terus menyelipkan pertanyaan-pertanyaan tadi.
“Maklum ya, namanya orang tua, kalau lagi bener ya bener, kalau lagi nggak bener ya begitu,” ujar Syukur, penjaga warung rokok di depan rumah Thio Him Tjiang yang setiap hari menemaninya, sambil tertawa.
Thio Him Tjiang tidak menyombongkan prestasinya sebagai pemain nasional yang sering melakukan tur ke luar negeri. Bahkan, ketika ditanya soal bagaimana awal kariernya sebagai pemain bola, ia terus melontarkan candaan.
“Main bola itu, ya, bola bundar ditendang-tendang, nggak ada ceritanya,” katanya sambil tersenyum lebar.
Seiring pembicaraan berjalan, ia pun mulai menceritakan potongan-potongan cerita di masa lalunya. Walau harus dipancing dengan “kata-kata kunci”, perlahan tapi pasti ia menceritakan tentang keluarganya, kehidupannya, dan sepakbola.
Lelaki berusia 84 tahun itu dulu tinggal di daerah Kota, Jakarta Barat. Sejak kecil, ia disekolahkan di sekolah Belanda. Waktu remaja, ia pernah bersekolah di Singapura selama setahun untuk belajar bahasa Inggris. Ia pulang ke Indonesia atas kemauannya sendiri, mengingat biaya sekolah yang mahal, dan ia masih mempunyai 4 adik yang harus disekolahkan.
“Cukuplah satu tahun, ‘kan papanya Opa harus kerja cari uang, buat apa hambur-hamburin uang sekolah lama di luar negeri, yang penting Opa sudah bisa ngomong bahasa Inggris sedikit-sedikit. Lebih baik uangnya untuk adik-adik Opa sekolah,” ujarnya.
Kecintaannya akan sepakbola masih terus ada. Antusiasme sangat jelas terlihat ketika ia berbicara soal sepakbola. Matanya berbinar-binar, dan raut wajahnya semakin cerah. Namun sayang, usianya yang sudah tua itu membuatnya tidak lagi menonton bola, karena katanya baru sebentar saja menonton, pasti langsung tertidur pulas. Ia hanya bisa mengenang masa-masa indahnya saat membela negara Indonesia ketika masih muda lewat sepakbola, untungnya ia memiliki album-album foto lama ketika ia masih bermain di PSSI.
“Dulu Opa ketemu kepala-kepala negara di luar negeri…, kita itu kan main membawa nama Indonesia. Opa pernah ketemu Mao Zedong, Zhou Enlai, terus presiden Rusia siapa itu…, Opa lupa. Tito bukan? Ah, Tito ‘mah Yugoslavia ya…, Opa lupa, deh, namanya susah,” kenangnya sambil menunjuk foto-foto di negara-negara Eropa di albumnya.
Setelah keluar dari tim nasional, ia pindah ke Bandung. Di sana, ia bekerja di bengkel dan bank. Setelah tujuh tahun tinggal di Kota Kembang, ia kembali ke Jakarta. Ia tinggal sendiri, karena semua saudaranya sudah menikah. Hingga saat ini, ia belum pernah menikah. Lima saudara lelakinya pun sudah meninggal, tinggal adik perempuannya yang tinggal bersama suaminya di Tasikmalaya. Namun, sejak sekitar sepuluh tahun lalu, ia tinggal bersama keponakannya. Dari di Melati Mas, Serpong, hingga dua atau tiga tahun lalu ia pindah ke tempat tinggalnya saat ini, di Jalan Delima Raya, Tanjung Duren, Jakarta Barat.
Tempat tinggal Thio Him Tjiang hanya terdiri dari satu kamar tidur berukuran kurang lebih 3×2 meter, dan satu kamar mandi. Di kamar tidurnya ada satu ranjang ukuran single, satu meja kecil untuk menaruh kotak obat dan beberapa barang-barang kecil lainnya, dan satu televisi 14 inci. Dinding luar dan dalamnya berwarna putih, sedangkan pintu dan jendelanya berwarna biru. Di depan kamar, yang merupakan garasi mobil, diisi satu mobil Toyota Innova milik keponakannya. Di dinding luar kamar, tergantung foto hitam putih Thio Him Tjiang dan keenam saudaranya memakai seragam tim UMS.
Rumah itu merupakan milik keponakannya yang tadinya akan dikontrakkan, tetapi karena ia tidak memiliki keluarga sendiri, rumah itu diberikan untuk ditinggalinya. Di belakang rumah, tinggal adik iparnya, Yani. Hampir setiap hari Yani datang mengunjungi kakak iparnya untuk sekadar berbincang-bincang. Mereka duduk di garasi dengan pintu besi dibuka sedikit agar cahaya bisa masuk. Kira-kira pukul 12 siang, Syukur membelikan makanan untuk Thio Him Tjiang, sesuai dengan permintaannya, entah itu bakmie yang berjualan di seberang rumahnya, nasi padang, atau bakso.
Setiap pertemuan dengan lelaki yang murah senyum itu, memberikan cerita-cerita yang baru. Tiap kali ditanya soal pernikahan, ia selalu tertawa. “Mancing terus tapi nggak dapat-dapat,” ujarnya. Satu kali, ia malah melantur bercerita tentang turnya keliling Asia dulu, ke Singapura, hingga ke Jepang.
“Dulu waktu Opa ke Jepang, kan main bola di sana dua atau tiga minggu, eh ketemu pacar. Tapi pacarnya nggak boleh dibawa pulang,” katanya sambil tertawa geli, “ya, nggak apa-apa. Kalau jodoh, nggak ke mana ‘kan?”
Walau hidup sendiri, Thio Him Tjiang tidak pernah sendirian. Selain ada Syukur, katanya, hampir setiap hari ada saja yang datang ke rumahnya untuk menemaninya berbincang-bincang dan mengirimkan makanan, entah itu mahasiswa, saudara, tetangga, wartawan, bahkan orang-orang yang sekadar ingin bertemu seorang mantan pemain bola nasional. Sekitar satu tahun lalu, Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Roy Suryo datang ke rumah Thio Him Tjiang untuk memberikan santunan dan penghargaan dari pemerintah. Kata Syukur, jalanan penuh dengan orang yang ingin melihat Roy Suryo.
Saat ditanya kesannya, ia menjawab, ”bersyukur sekali pemerintah masih ada perhatiannya sama Opa, sebenarnya Opa nggak diperhatikan juga tidak apa-apa, toh dulu Opa main untuk bela negara, bukan untuk cari uang atau perhatian.”