APAKAH “LANDING” MULUS AMAN?

“Dari seluruh rangkaian penerbangan, momen yang paling kritis adalah pada waktu pesawat akantake-off dan landing.” [1]

Pernyataan tersebut diucapkan oleh Chappy Hakim, mantan Komandan Jendral Akademi TNI dan Kepala Staf Angkatan Udara. Menurutnya, dari semua proses rangkaian penerbangan lepas landas dan mendarat adalah hal yang paling krusial. Akan tetapi menurutnya, dibanding take-off, walaupun derajat kritisnya tidak banyak berbeda, pendaratan lebih memiliki arti tersendiri.

Pendaratan adalah rangkaian akhir dari suatu misi penerbangan, setelah hampir 90 persen seluruh rangkaian kegiatan penerbangan yang cukup menyita konsentrasi pilot pesawat. Nampaknya bukan hanya sang penerbang saya yang butuh konsentrasi penuh. Secara tak sadar kita pun ikut berkonsentrasi penuh. Adrenalin memuncak sebab pendaratan adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh semua penumpang. Bagi yang tidak sering bepergian dengan menggunakan pesawat, pastinya akan merasa cemas dan berharap pendaratan berjalan mulus.

Saat pendaratan berjalan lancar, ban pesawat menyentuh landasan dengan mulus tanpa guncangan keras, kita biasa berkomentar bahwa si penerbang handal alias jago. Bahkan tak jarang beberapa penumpang meluangkan waktu untuk menemui captain pilot setelah mendarat, untuk memberikan selamat atas landing yang mulus. Tapi, saat ada penerbang yang mendaratkan pesawat dengan berguncang dan kasar, maka ia akan dinilai payah dan tidak berpengalaman lebih buruk lagi apabila sampai dimaki-maki. Sepanjang perjalanan turun dari pesawat hingga keluar dari bandara, pengalaman mendarat yang kasar tadi akan menjadi buah mulut yang akan terus diperbincangkan.

Di dalam mind set kita telah tertata pola pemikiran, pokoknya kalau landing mulus artinya si penerbang jago.  Hal ini dapat dimengerti karena memang hanya pendaratanlah yang dapat dinikmati oleh semua penumpang. Sebagai akibat dari ulah tim penilai yang hanya memberikanpoint pada landing saja, maka sebagian penerbang banyak juga yang terpengaruh untuk selalu membuat pendaratan yang mulus, halus, tidak terasa dan melegakan hati.

Lalu muncul pertanyaan, mengapa tidak seluruh pendaratan dapat berlangsung mulus?

Landing yang benar tidak dapat diukur dari kasar atau halusnya pendaratan. Dalam bukunya yang berjudul Pelangi Dirgantara, Chappy menjelaskan bahwa suatu pendaratan yang benar adalah yang dilaksanakan sesuai prosedur yang berlaku bagi pesawat tersebut dan juga harus memenuhi syarat-syarat tertentu di mana situasi dan kondisi di bandara bersangkutan juga harus diperhitungkan. Antara lain pesawat harus berada pada kecepatan tertentu sesuai persyaratan yang tercantum dalamperformance chart pesawat tersebut.

Dengan melaksanakan pendaratan sesuai prosedur yang berlaku, maka apabila mengalami gangguan tiba-tiba (tiupan angin mendadak/gusty, gangguan mesin, ban pecah atau lainnya), pesawat relatif masih bisa dikendalikan dengan baik dan resiko kecelakaan dapat dicegah atau setidaknya dikurangi.

Masalah mulus atau tidaknya perkenaan roda pendarat ke landasan, tidak memberi pengaruh yang besar selama pesawat berada pada touch down speed yang dipersyaratkan sesuai dengan berat pesawat (akumulasi barang, penumpang, bahan bakar) pada saat itu. Maka tak jarang, pesawat yang kita tumpangi harus berputar-putar dulu sebelum mendarat. Jelas alasannya agar bobot dari pesawat sesuai dengan persyaratan mendarat.

Ada beberapa jenis pesawat yang memerlukan pendaratan yang keras (tidak boleh halus). Hal ini dimaksudkan untuk meng-on-kan beberapa sistem pesawat yang akan digunakan pada saat pesawat bergerak di darat.

Ada pesawat yang memiliki touched down switch yang berada di semacam shock absorber roda pendarat yang akan meng-on-kan sistem pengatur sudut baling-baling pesawat. Ada pula yang meng-off-kan sistem tekanan kabin dan ada pula yang meng-on-kan sistem locked roda pendarat agar terhindar dari masuknya kembali roda pendarat ke badan pesawat.

Pada kondisi tertentu, pendaratan yang halus mulus tidak terasa, kadang justru mengundang bahaya. Pada saat runway tergenang air hujan, pesawat yang mendarat dapat mengalami apa yang dikenal dengan hydroplaning, sesuatu kondisi dari pesawat pada saat sudah mendarat, tetapi belum sempurna berada di landasan.

“Hydroplaning or aquaplaning by the tires of a road vehicle, aircraft or sometimes roller coaster occurs when a layer of water builds between the rubber tires of the vehicle and the road surface, leading to the loss oftraction and thus preventing the vehicle from responding to control inputs such as steering, braking or accelerating. If it occurs along all four wheels, the vehicle becomes, in effect, an uncontrolled sled [2]

Seperti apa yang dijelaskan di atas, bahwa pesawat seolah mengambang antara air yang tergenang dengan permukaan landasan. Hal ini menjadi bahaya karena apabila ada tiupan angin tiba-tiba dari arah tegak lurus dengan landasan atau tiba-tiba salah satu mesin tidak berfungsi, maka arah pesawat tidak dapat dikendalikan dikarenakan tidak adanya traksi antara ban dengan landasan.

Agar tidak terjadi hydroplaning maka harus diatasi dengan melaksanakan positive landing yaitu landing yang mungkin dirasakan agak kasar oleh para penumpang, tapi ini bertujuan agar roda-roda pesawat dapat segera melekat sempurna pada runway, sehingga ban memperoleh traksi (akrab dengan istilah ban menggit jalan).

Itulah sebabnya terkadang dalam sebuah pendaratan berjalan tidak mulus. Bukan karena faktor si penerbang yang tidak handal, namun, karena ada keharusan untuk mendaratkan dengan agak kasar. Tujuannya supaya tidak kehilangan cengkraman antara ban dengan landasan.

Hal yang paling utama adalah melaksanakan pendaratan sesuai dengan prosedur. Penumpang tidak perlu was-was dengan pendaratan yang kasar. Sebaliknya juga tidak perlu khawatir apabila pesawat mendarat mulus.

Tulisan ini dibuat untuk menambah pemahaman kita tentang hal kecil dalam dunia penerbangan namun memiliki pengaruh yang signifikan. Agaknya anda yang membaca tulisan ini, menjadi tahu bahwa halus tidaknya sebuah pendaratan pesawat bukan menjadi tolak ukur keselamatan. Pendaratan yang agak keras terkadang perlu, justru untuk keamanan.


[1] Hakim, Chappy. 2010. Pelangi Dirgantara. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.