Cerita Dari Gang Tempe

Penulis: Ananda Tri Elvina

Jam menujukkan pukul 5.45 pagi, ketika embun masih memberikan semburat pada daun-daun yang menunggu mentari. Saat itulah perjalanan menuju daerah Cipondoh, Tangerang Kota dimulai. Di sana, dapat ditemui sosok seorang pria bertubuh mini menjajakkan Koran dagangannya di pinngir lampu merah arah Banjar Wijaya. Sejuk semilir angin menerpa setiap permukaan kulit wajah siapapun yang membuka jendela mobil mereka dan membuka penutup helm kendaraan beroda dua. Ketika tiba dilokasi, belum juga terlihat sosok yang mampu membuat orang-orang kagum jika mendengar cerita darinya. Setelah tak berapa lama menunggu, terlihat seorang pria mengunakan kemeja lengkap dengan topi serta lengan yang penuh dengan koran edisi baru. Ahmad namanya, seorang Bapak yang memiliki keterbatasan fisik namun tak pernah lelah untuk mencari nafkah halal dari hasil keringatnya sendiri.

Sesekali terlihat ia mengeringkan keringatnya yang sudah mulai mengalir di dahinya, tak jarang ia terjatuh seketika kehilangan keseimbangan saat hendak memberikan koran pada pelanggannya. Namun, ia kembali bangkit berdiri dan segera memenuhi pesanan yang diminta. Ketika ditanya mengenai kesediaanya untuk wawancara ia nampak sangat terbuka dan senang. Senyumannya membuat kedua matanya terlihat sedikit menyipit. Ramah, itulah kesan yang akan terlihat saat berkenalan dengannya.“Datang saja mbak ke rumah saya, jam dua siang nanti saya sudah pulang” begitu katanya. Setelah memberi alamat lengkap, perjanjian untuk singgah di rumah Beliau pun terlaksana.

 Ketika matahari mulai beraju aksi, saat itulah pencarian rumah daerah Pabuaran Indah dilakukan. Kelokkan gang semakin lama semakin menyempit dan memasuki wilayah yang semakin jauh dari jalan raya, tepat di depan pinggir kali Gang Tempe begitu orang-orang di sana menyebutnya. “Disini terkenalnya sama Gang Tempe karena mayoritas (warganya) jual tempe.” jelas seorang warga di daerah tersebut. Gang Tempe, di sini hiduplah seorang panutan keluarga kecil di dalam rumah yang sudah tak sempurna lagi atapnya, berbagai tambelan terpal menghiasi atap rumah yang terbuat dari kayu tersebut. Namun, hal ini tidak membuatnya merasa tidak bersyukur. Dengan adanya rumah kecil ini, ia, istri dan dua orang cucunya bisa terbalut dari panasnya terik matahari dan dinginnya hujan. Ahmad selalu bisa menikmati alur hidup yang tidak selalu berpihak padanya dan menjadi seorang loper koran sudah ia jalani selama kurang lebih 5 tahun di Tangerang.

cerita gang tempe2

 Dari penghasilan yang tidak seberapa, Ahmad harus bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga. Lima orang anak yang diasuh sampai dewasa entah dimana keberadaanya tak sekalipun menenggok keadannya. “Saya dengar-dengar tiga orang anak saya yang ada di Jakarta sudah pada kerja di tempat bagus dan menjadi karyawan tetap. Saya senang mendengarnya.” jawabnya sambil berkaca-kaca. Tak sekalipun ia berharap anaknya mau menemuinya dan membantu kehidupannya. Ironis, salah satu dari anak itu menitipkan dua cucu kepadanya. Sang anak tidak pernah berkirim kabar lagi sehingga ia juga harus menanggung biaya dua orang cucunya tersebut.

Ahmad yang dulu pernah menjadi pegawai perusahaan Bus Damri ini mengatakan bahwa meskipun dirinya memiliki kekurangan secara fisik dan tidak memiliki keseimbangan tumbuh untuk berjalan dengan baik, orang-orang di sekitarnya tidak pernah mencemoohnya atau memandangnya sebelah mata. Dalam keterbatasan fisik, Ahmad tergolong aktif dalam bidang sosial. “Kalo saya dilingkungan ini memang tidak bisa nyumbang dengan uang melainkan tenaga, jika ada yang perlu bantuan sebisa mungkin ya dibantu. Seperti kerja bakti membersihkan lingkungan misalnya.” ujarnya sambil tersenyum.

Awalnya, Ahmad yang baru saja pensiun dari perusahaan Bus Damri di Jakarta memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Sumatra, suatu ketika Ahmad dan sang istri datang ke Jakarta untuk bertemu dengan seorang temannya. Sepulang dari pertemuan dengan temannya, Ahmad melihat seorang loper koran berjualan dan tertarik untuk mencari tahu lebih lanjut bagaimana cara untuk berjualan koran di Jakarta. Setelah mendapat informasi yang cukup, datanglah Ahmad ke Jl. Veteran Jakarta Pusat untuk memulai profesi barunya. Ayah dari lima orang anak ini memutuskan untuk kembali ke Jakarta sebelum akhirnya pindah ke Tangerang. Hal ini ia lakukan karena sempat berpikir akan lebih mudah jika ia tinggal di kota yang sama dengan ke tiga anaknya yang berkerja di Jakarta dan lebih dekat dengan dua orang anaknya yang tinggal di Tangerang. Jika ia hidup di Sumatra maka akan susah untuk bertemu dengan kelima anak-anaknya yang sudah menikah semua. Pada saat itu anak-anaknya masih sempat untuk memberinya kabar via SMS dan telepon, sesekali anak-anaknya mampir meskipun sangat jarang,  itupun hanya sekedar untuk menitipkan cucunya ketika hendak bekerja.

Dan tibalah suatu pagi yang mengejutkan. Anak perempuannya datang dengan tubuh basah kuyup dan menitipkan dua cucu kepada Ahmad. Sejak saat itu, anak perempuan yang menitipkan cucunya tak pernah nampak lagi, begitu pula dengan keempat anaknya yang lain. Ketika biaya rumah kontrakan yang ia tinggali tak lagi dapat ia banyar dan tak lagi terdengar kabar dan singgahan dari anak-anaknya, pindahlah Ahmad ke Tangerang dan memulai hidup baru dengan profesi yang sama.

Terkadang ketika para tetangga yang mayoritasnya adalah penjual tempe membutuhkan  bantuan, Istri Ahmad akan membantu untuk memotong-motong tempe dan menjualkannya. Satu buah tempe berukuran besar jika laku dijual maka ia akan mendapat upah sebesar 1000-1500 rupiah. “Lumayan Mba meski harus keliling kampung, bisa buat nambah-nambah (biaya)” kata Sri, istri Ahmad. Apapun asalkan halal, begitu prinsip Ahmad dan istrinya, dalam senyum bercampur pilu Mereka menceritakan bagaimana perjuangan itu semua didasari oleh rasa ikhlas. Sedih, begitulah perasaan Sri jika harus mengingat semua kenangan manis ketika masa-masa dimana anak-anak mereka masih berkumpul bersama. Tak terasa waktu memakan segala kebersamaan yang dulu pernah tercipta. “Suka inget dulu waktu masih ada anak-anak. Bapak masih kerja di Damri, biar makan kadang ada kurangnya rasanya seneng aja karena pada kumpul semua di rumah.” kenangnya dengan suara parau dan linangan air mata yang perlahan turun membasahi kedua pipinya.

 Sekarang hal paling penting bagi mereka adalah cucunya bisa tetap makan dan sekolah. Doa juga dikirimkan kepada anak-anak mereka supaya bisa hidup lebih baik di manapun mereka berada. “Oh kalo anak mah yang penting pada sehat saja dan bahagia. Enggak apa kalo tak mau ketemu Bapak Ibunya lagi.” ucap Ahmad derngan senyum sedih.

cerita gang tempe3

Langit seolah membendung tangisnya dengan awan berwarna gelap, seolah mengerti setiap tetes keringat dari perjuangan Ahmad dan istinya serta air mata yang menghiasi hari-harinya. Menjajakkan koran di pinggir lampu merah dan membantu menjualkan tempe para tetangga tidak membuatnya merasa malu ataupun menyerah dengan keadaan yang ia sedang hadapi. Hal paling berharga yang masih tersisa dalam hidupnya adalah rasa ikhlas dan kebaikkan yang tak pernah puas untuk ditabur kesiapapun. Jika ditanya mengenai arti keluarga, ia terdiam dan tersenyum sesaat. “Kebersamaan dan saling mengerti itu keluarga.” ujarnya sambil tertawa renyah. Hidup memang tak selalu berjalan sebagaimana yang kita inginkan.

Memiliki keterbatasan fisik dan ekonomi juga bukan merupakan keinginan Ahmad. Tetapi segala kekurangan juga bukan sesuatu hal yang harus dikutuki melainkan disyukuri dan dijalani dengan kesabaran dan perjuangan. Tak ada yang sia-sia dalam hidup jika kita mau berusaha, bersyukur dan menikmati segala kelebihan dan kekurangan yang ada dalam hidup ini. Pelajaran berharga itu terpetik indah dari sebongkah cerita dari Gang Tempe.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.