Kisah Hidup Efraim Po’Enday

Efraim Po’Enday berdiri di depan gereja yang ia rintis sejak awal

Efraim Po’Enday berdiri di depan gereja yang ia rintis sejak awal

Penulis: Windy Iwandy / 12140110020

Ia berjalan perlahan, meraba setiap hal di sekelilingnya. Tanpa sebuah keraguan, ia terus melangkah walau terkadang ia terhenti sebentar, mencoba menentukan kemana arah ia selanjutnya. Ia berjalan di sebuah gang kecil berukuran lebar kurang lebih satu meter, menuju sebuah bangunan yang sangat sederhana berwarna putih, yang memiliki dua lantai dengan bentuk bangunannya yang persegi panjang kebelakang. Ya! Itu adalah rumah pemberian Tuhan untuknya, seorang yang hidup dari kemurahan Tuhan, Efraim Po’Enday.

Kaos putih yang sudah sedikit lusuh dengan celana selutut berwarna biru langit menjadi teman tubuhnya hari itu. Ia memasuki rumahnya, disambut oleh istri tercinta, Ana Sumarsih Lasmaeda Manurung, yang telah menemaninya selama 24 tahun. Ana langsung menghampiri sang suami dan membantunya berjalan menuju tempat duduk yang letaknya dekat dengan pintu rumahnya. Ia membantu melepaskan kacamata hitam yang selalu beliau gunakan dan segera mengambil air minum untuk sang suami.

Setiap hari, Efraim selalu menggunakan kacamata hitam untuk menutupi matanya yang telah berhenti berfungsi sejak ia berusia 6 tahun. Ini lah awal dari perjalanan hidupnya, sebuah kehidupan dimana hari-hari yang baru membuat penglihatannya semakin gelap.

Efraim lahir di Palopo, sebuah kota kecil di Sulawesi Selatan. Ia lahir pada tanggal 30 November 1960. Saat ia berusia 2 tahun, Ayahnya meninggalkan Ibu dan dirinya berdua. Hal ini lah yang menyebabkan Ibunya harus banting tulang mencari uang untuk menghidupkan Efraim kecil saat itu.

Setiap Ibu Efraim pergi mencari uang untuk beberapa bulan, Efraim selalu dititipkan kepada tantenya. Ia bertumbuh hingga usianya 6 tahun dan pada saat itu Efraim mengalami pengalaman yang pahit. Efraim terkena penyakit cacar. Pada jaman itu, di wilayah Efraim tinggal belum terdapat dokter. Tantenya mencoba membawanya ke dukun yang mengobati penyakit secara tradisional. Pengobatan itulah awal dari kegelapan hidupnya, pengobatan tersebut gagal menyembuhkan cacarnya dan  mengakibatkan matanya harus rusak. Ia tidak dapat melihat lagi secara jelas sejak saat itu.

Sejak kejadian itu, setiap hari Sabtu dan Minggu, tantenya selalu meninggalkan Efraim sendiri di sebuah kebun yang terletak kurang lebih 10 kilometer dari kota tempat ia tinggal. Tantenya akan menjemputnya kembali pada hari Senin saat ia kembali bekerja di kebun. Efraim kecil berjuang mati-matian untuk tetap bertahan hidup dengan memakan makanan yang dibuat oleh tantenya sejak hari sabtu, terkadang makanan yang ia makan bahkan sudah tercampur dengan kotoran tikus atau basi.

Suatu hari Ibu Efraim kembali ke rumah, setelah mencari uang sekitar 3 bulanan. Ia mencari Efraim di rumah tantenya dan tidak menemukannya, akhirnya Ibunya mencari ke kebun dan dari kejauhan melihat Efraim sedang meraba-raba mencari makanan. Ibunya sangat terkejut dan langsung menangis. Ia berpikir, buat apa lagi anaknya hidup jika harus seperti ini. Ia berniat untuk membunuh Efraim dan kemudian bunuh diri. Namun, saat ia ingin membunuh Efraim, muncul satu suara dari dalam hatinya, berkata “Jangan bunuh anak ini”. Suara itu muncul hingga tiga kali dan Ibu Efraim langsung menangis histeris. Hal ini membuat Efraim terkejut mendengar ada suara wanita menangis dan ternyata itu adalah Ibunya.

Seiring berjalannya waktu, Efraim bertumbuh remaja, walau kecewa ia tetap menjalani hidupnya. Hingga ia berusia 14 tahun, ia bertemu dengan seorang Pendeta. Pendeta ini bernama Frans Longkar. Beliau mengajak Efraim untuk tinggal di sebuah gereja, hingga akhirnya Efraim tinggal di sana. Efraim diajari bermain musik dan bernyanyi. Sejak saat itu, muncul sebuah panggilan hati, dimana Efrain rindu untuk melayani Tuhan. Tetapi dengan kondisi Efraim yang seperti ini, Efraim bingung bagaimana agar ia dapat membaca firman dan melakukan hal lainnya.

Akhirnya, Sang pendeta membawa Efraim ke sebuah sekolah khusus tuna netra di Menado dan di sana Efraim mulai belajar huruf Braille. Keinginannya membaca alkitab menjadi semangatnya dalam belajar.

Semangatnya ini membawanya pada keberhasilannya di sekolah, hanya dalam waktu satu bulan, Efraim telah berhasil menghafal huruf abjad Braille dan injil yang pertama kali ia baca adalah injil Yohanes. Efraim menjadi anak yang berprestasi di sekolah, ia menjadi anak lulusan terbaik kedua di ujian akhir dan hal ini membuat Efraim diajak menjadi seorang pengajar di sekolah tersebut. Tetapi, Efraim menolak hal tersebut. Ia memiliki sebuah cita-cita yang hidup di dalam jiwanya, yaitu menjadi seorang Hamba Tuhan.

Ia melanjutkan sekolahnya di sebuah sekolah Teologi Tentena yang berada di Poso, Sulawesi Tengah dan Batu Malang, Surabaya. Setelah lulus, ia praktek di Surabaya pada tahun 1989 dan bertemu dengan istrinya di sana, “Ia jatuh cinta, aku juga jatuh cinta” Ungkapnya. Ia menikah dengan Ana pada tahun 1990 dan memiliki dua anak yang bernama David Kurniawan Po’Enday dan Priska Christiana Po’Enday.

Sebelum menikah, Efraim dan Ana menetap setahun di Jawa Barat. Efraim menemani istrinya sekolah alkitab. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk pindah ke Jakarta dan mengembangkan diri. Mereka berumah tangga, belajar melayani, dan membuka pelayanan pada tahun 1999 di Persekutuan Doa Pemulung, daerah Cakung-Cilincing.

Mereka memulai pelayanan di lokasi pemulung, tempat para pemulung memulung. Pelayanan mereka di mulai dari tiga pemulung kristiani. Mereka mendatangi lokasi pemulung tersebut dimana mereka tinggal di gubuk-gubuk yang mereka buat dari potongan triplek dan kardus-kardus.

Awal mereka melayani pemulung karena adanya ketertarikan mereka melayani pemulung, mereka prihatin dengan kondisi para pemulung, dan jarang ada yang melayani ke arah sana. Mereka kemudian mencoba untuk masuk ke kawasan pemulung, mewawancarai mereka, berbagi cerita dalam keadaan yang perlu disentuh dalam rohani. Kemudian para pemulung merespon dan menceburkan diri dalam pelayanan mereka.

Persekutuan doa yang mereka bangun, berkembang maju. Umat berkembang menjadi 100 orang dan sekolah minggu juga berjalan. Tetapi, suatu saat tempat itu dibongkar, digusur, kemudian Efraim menyewa sebuah tempat menjadi sebuah Gereja pada tahun 2008 dan berjalan hingga saat ini.

Berkat dari pembinaan kerohanian Efraim dan istrinya membawa peningkatan signifikan yang positif bagi umatnya. Para pemulung yang dahulu tinggal di gerobak bahkan di gubuk kardus, kini dapat menikmati rumah yang permanen, dengan membeli sebuah tanah dan membangunnya. Mereka memiliki kehidupan yang menjadi semakin baik melalui kehidupan rohani yang mengarahkan mereka kepada kehidupan kekristenan dimana bisa mengolah keuangan secara bijaksana.

Walau mereka semua masih memulung hingga saat ini, yang bagi sebagian orang adalah hal yang kurang terhormat, Efraim senang dapat melihat sebuah perubahan yang baik bagi mereka, “Itu tidak masalah, yang penting menghasilkan dan halal, mereka bisa hidup, menyekolahkan anak, dan mengikuti kegiatan hidup yang lainnya.” Ucapnya.

Selain itu, Efraim juga memimpin sebuah persekutuan doa khusus tuna netra Kristen se-jabodetabek yang hingga kini terbangun sebuah yayasan bernama Yayasan Pelangi Kasih Tuna Netra Kristen. Setiap bulan mereka berkumpul untuk beribadah bersama. Dari ibadah ini Efraim dan teman-teman yang turut membangun yayasan memberikan beasiswa-beasiswa kepada anak para penyandang tuna netra. Hingga saat ini sudah ada 30 anak yang dibiayai dari SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Efraim terus berbuat yang terbaik untuk kemajuan teman-temannya dan berkarya melalui pelayanannya kepada mereka.

Panggilan yang kuat di dalam diri Efraim selalu menjadi semangatnya untuk terus melayani, walau awalnya ia pesimis dengan keadaan dirinya. Ia mengingat sebuah firman Tuhan yang berkata, “Tuhan tidak pandang bulu, muka, yang Tuhan lihat adalah hati kita yang rindu melayani.” Itu lah yang membuat Efraim tetap semangat dengan roh yang menyala-nyala mau melayani Tuhan.

Sejak mengenal Tuhan, Efraim merasa dirinya berharga di mata Tuhan. Tuhan selalu membuka jalan untuknya dan keluarganya. Semua yang terjadi di dalam hidup Efraim adalah sebuah berkat dari Tuhan. Efraim hidup dalam kecukupan yang merupakan sebuah kemurahan dari Tuhan. Ia tak pernah mengambil sepersenpun uang dari umatnya yang merupakan pemulung. Hidupnya adalah mukjizat dan keajaiban Tuhan. “Melayani Tuhan, bukan mencari hidup tapi memberi hidup dan pasti kita hidup karena kita melayani Tuhan yang hidup.” Ucapnya dengan jelas.

Efraim selalu melakukan segala hal dengan mandiri, salah satunya adalah mengirim pesan melalui sebuah telepon selular dan menelpon. Ia dapat melakukan hal itu dengan menggunakan aplikasi “Josh” yang merupakan salah satu aplikasi suara. Ia tidak pernah berpasrah dengan keadaannya, Ia berkata, “Hidup tidak ada yang membatasi, ada niat pasti bisa.”

Dalam kegiatan melayani Tuhan, Efraim sering di panggil ke gereja-gereja di berbagai tempat untuk memberikan khotbahnya. Dalam hal ini, Efraim tidak ingin merepotkan orang lain. Ia terbiasa berpergian sendiri atau terkadang ditemani istrinya jika searah. Dalam menjangkau suatu tempat ia lebih sering menggunakan ojek, jika lokasinya jauh ia menggunakan bis dan apabila memungkinkan untuk naik taksi, ia akan menggunakan taksi.

“Beliau adalah orang yang bertanggungjawab, penuh kasih, peduli sama orang lain, walau buat dirinya sendiri udah gak ada, tapi selalu buat orang lain. Beliau rela berkorban untuk orang lain.” Ucap Ana mendeskripsikan suaminya yang sangat ia cintai. Ana tidak pernah melihat diri Efraim sebagai sesuatu kekurangan, baginya Efraim adalah sesosok kepala rumah tangga yang sangat luar biasa.

Hal ini juga diucapkan oleh salah satu umat Efraim, yaitu Aris yang merupakan salah satu pemulung yang dilayani oleh Efraim, “Beliau sangat mau terjun langsung ke para pemulung yang ada di sekitar kami, walaupun keadaan para pemulung sangat buruk, beliau mau menerima apa adanya dan beliau sangat membantu para pemulung yang ada di tempat ini.”

Sebuah filosofi kehidupan yang tak akan pernah diketahui oleh siapapun. Terdampar, mengalir, dan bermuara pada sebuah kasih. Tuhan memelihara Efraim hingga hari ini dan adanya kebulatan hati serta komitmen Efraim untuk percaya dengan iman serta melayani sungguh-sungguh, telah mengubah dunia di sekitarnya yang gelap menjadi terang, gelap hidupku terang bagi dunia, semua dari pada-Mu dan untuk-Mu, Efraim Po’Enday.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.