Penulis: Immanuel Daud / 12140110228
“Semua orang disini adalah keluarga dan semua memiliki kegiatan yang bermanfaat,” kata Bobby Firman Adam salah satu anggota Komunitas Marjinal Taring babi yang berlokasi di bilangan Jakarta Selatan.
“Awalnya kegiatan Komunitas Taring Babi susah diterima masyarakat sekitar. Yah, mungkin karena penampilan kami dan mindset orang-orang tentang anak punk,” kata Bob sambil menghisap rokok kreteknya.
Komunitas Marjinal Taring Babi melakukan segala aktifitas mereka di gedung dua lantai berpagar besi warna hijau dan hitam terletak di ujung Gang Setiabudi di Jalan M. Kahfi 2, Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Penanda bekas rambu lalu lintas berwarna dasar kuning bertuliskan “Alam Raya Adalah Sekolahku” berdiri di halaman rumah. Rumah itu berpintu kayu penuh tempelan stiker dan macam-macam tulisan yang sudah kusam.
Di rumah tersebut terdapat ruangan yang dindingnya dipenuhi oleh poster, foto dan hasil kerajinan tangan berupa cukil kayu dengan etalase hasil kerajinan tangan, gitar akustik, gendang dan suling milik komunitas punk tersebut.
Buku tersusun rapi di salah satu rak yang terpasang di sudut jendela. Buku-buku tersebut merupakan hasil skiripsi tentang marjinal, dari buku sejarah, politik, dan komik dan terdapat buku cerita terjemahan buku teori semiotika dan beberapa buku karya Pramoedya Ananta Toer.
“Komunitas Marjinal Taring Babi sudah menggunakan rumah kontrakan milik Haji Maman untuk kegiatan komunitas sejak 11 tahun lalu.” Kata Bobby yang merupakan pemain Bass dari Band Punk Marjinal.
Banyak komunitas Punk yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri mendatangi tempat ini untuk bertukar pikiran mengenai komunitas Punk, serta mengenalkan budaya-budaya asli Indonesia.
Sebelumnya Bobby dan Mike, memutuskan untuk menggunakan rumah itu sebagai tempat tetap kegiatan komunitas Punk mereka. Dahulunya mereka menjalani hidup nomaden sebagai anak Punk. Bobby dan Mike mulai ikut gerakan Punk selepas lulus Sekolah Menengah Atas dan bertemu tahun tahun 1997. Bobby dan Mike menyukai konsep Do It Yourself atau melakukannya sendiri. Punk melatih mereka untuk menghandalkan kemampuan dan kreatifan diri sendiri agar berani bersuara.
Satu pikiran yang sama pada musik underground membuat mereka membentuk komunitas dengan ideologi punk, Marjinal Taring Babi pada 22 Desember 1997.
Marjinal merupakan nama kegiatan bermusik bagi mereka, dinamakan demikian karena syair lagu mereka nyanyikan berisi tentang masyarakat yang terpinggirkan sedangkan Taring Babi komunitas tempat marjinal bernaung, ujar Bobby menjelaskan.
“Belajar dari babi, makhluk yang rakus. Artinya sama dengan simbol kapitalisme, rakus dan taringnya itu senjatanya, dan senjatanya udah kita gantungin disini,” kata Bobby sambil menunjukkan kalung dia kenakan.
“Sekaligus mengingatkan kita, jangan rakus seperti Babi,” ujar Bobby, yang kini hidup bersama istri dan anaknya di sebuah rumah yang tak jauh dari rumah komunitas punk tersebut.
Marjinal Taring Babi memutuskan untuk menetap diakhir tahun 2002 supaya bisa membentuk komunitas punk supaya tidak berseberangan dengan pandangan masyarakat. Sebab menurut mereka, untuk menghidupkan suatu komunitas, dibutuhkan tempat untuk berkarya secara terus menerus. Serta mereka harus membangun keharmonisan dengan masyarakat untuk menjaga keberlangsungan komunitas.
“Kita bisa melihat gimana banyak komunitas dan organisasi hilang begitu saja. Penting banget punya tempat sendiri biar banyak nilai-nilai yang bisa kita gunakan. Dengan begitu kita akan menjadi bagian dari warga seutuhnya,” jelas Mike.
Awalnya usaha anggota komunitas punk itu untuk menyatu dengan masyarakat sekitar tidak mudah. Mike dan Bobby sadar, masyarakat sekitar menilai aktifitas yang mereka lakukan.
Membuat keributan, mabuk dijalanan, dan tidak peduli pada kegiatan warga sekitar bisa memupus harapan mereka untuk hidup berdampingan dengan masyarakat. Sebelumnya mereka selalu berusaha tersenyum walau kadang dibalas dengan tatapan sinis tetangga yang merasa aneh dengan perawakan mereka yang sekujur tubuhnya dihiasi dengan aneka macam gambar. Dengan rambut berdiri yang merupakan identitas dari anak punk, mereka ikut berpatisipasi dalam kerja bakti bersama warga sekitar. Mereka juga memelankan suara saat menyanyi alunan lagu punk supaya tidak menganggu warga.
Warga pun akhirnya mulai menerima mereka dengan mengunjungi rumah kontrakan komunitas marjinal.
“Bukannya mabuk atau berbuat anarki, loh kok mereka malah jualan. Bukannya berkeliaran, kok malah jemur kaos sablonan dan sering bawa papan untuk diukir,” cerita dari salah satu tetangga Bobby dan Mike.
“Itu anak-anak yang rambutnya gondrong berdiri enggak rese,” kata Amin. Penduduk asli Setu Babakan yang bekerja sebagai penjaga pintu masuk dari gang Setiabudi.
“Mereka mah nurut, ada kerja bakti pada ngikut. Ada lomba-lomba juga ikut jadi panitia. Mau bergaul gitu sama masyarakat. Sama yang tua juga enggak songong,” tambah dia.
Marjinal Taring Babi tidak berbeda dengan komunitas punk pada pada umumnya.
Mereka mencari makan dari pertunjukan musik dengan mengamen dan manggung, menjual beberapa kerajinan tangan berupa desain gambar poster, membuat tato, menyablon kaos, mencetak undangan, membuat gelang dari sisa bungkus makanan dan jual beli kaset.
Band beraliran punk ini sudah menetaskan lima album dalam karir mereka, yang antara lain mencakup lagu-lagu untuk soundtrack film “Punk In Love” yang merupakan film tahun 2009 karya Ody C. Harahap yang dibintangi oleh Vino G. Sebastian.
Komunitas punk ini juga menghasilkan kaus. Produk mereka sudah dijual di luar pulau Jawa. Poster-poster mereka juga jual ke daerah Jakarta Selatan dan Bekasi.
“Nah setelah produksi sekalian membangun jaringan ke luar. Biasanya temen-temen di sini banyak dapat orderan dari Sumatera dan Makassar melalau pakai sistem paket. Mereka transfer, kita kirim barang,” jelas Bobby.
Pendapatan dari kegiatan-kegiatan usaha itu mereka gunakan untuk membiayai komunitas, mebayar sewa rumah, memenuhi kebutuhan harian, serta modal untuk melengkapi modal produksi dengan membeli alat musik, memperbaiki alat sablon serta membeli banyak keperluan untuk membuat poster.
Usaha komunitas punk ini membuat mereka semakin mandiri untuk tetap bertahan seperti sekarang. Dengan cara itulah mereka bisa hidup berdampingan secara baik dengan warga sekitar.
Menurut Bobby, sekarang warga sekitar tidak ingin Marjinal pergi dari lingkungan tempat tinggal mereka.
Saat komunitas ini kesulitan membayar uang kontrakan, warga sekitar membantu mereka dengan membeli lukisan dan poster atau meminta dibuatkan kartu undangan.
“Bisa diterima saja di tengah warga begini buat kami adalah sebuah kemenangan, apalagi diizinkan bebas berkarya, besar artinya buat kami,” kata Mike.
Marjinal ingin belajar lebih banyak dari masyarakat dan menghasilkan karya-karya untuk dinikmati oleh bersama.
Bobby dan Mike berharap suatu saat mereka membuka pertenakan sapi yang dikelola bersama warga.
“Temen-temen mau bikin peternakan sapi, buat empang atau kalo perlu buat pabrik. Semua itu kita akan buat dengan pola-pola yang berbeda dengan ada saat ini, yang cenderung menindas dan mengekploitasi, ” jelas Mike.
Komunitas pun merasa bisa bertahan hidup dengan karya sendiri tanpa harus bergantung pada dukungan pemerintah.
“Kagak usah liat punk, liat noh tukang soto gerobak di depan. Dia berdikari dan lebih baik begitu, tidak bergantung sama negara,” kata Mike.
Hubungan harmonis antara komunitas punk Marjinal Taring Babi dan lingkungan tempat tinggalnya menandakan adanya perubahan sosial yakni bahwa hubungan antar-masyarakat tidak lagi hanya dimaknai dengan simbol material.