Para pemimpin negara anggota ASEAN beberapa dekade lalu sepakat untuk membentuk kawasan pasar bebas di Asia Tenggara atau yang lebih dikenal dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Pasar bebas ini memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara. Tujuannya adalah untuk meratakan pertumbuhan ekonomi negara-negara ASEAN.
Negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia harus siap menghadapi MEA yang mulai berlaku Mei 2015. Bentuk persiapan yang harus dilakukan diantaranya adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap persaingan ekonomi yang semakin ketat. Masyarakat kini bukan hanya bersaing dengan sesama warga negara namun juga bersaing dengan seluruh masyarakat Asia Tenggara.

Profesor Ibnu Hamad dari Universitas Indonesia memberikan paparan tentang peran komunikasi dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asia
Profesor Ibnu Hamad dalam seminar Conference on Communication and New Media Studies (Comnews) 2015, yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi UMN, Selasa (19/5), menyatakan bahwa mempromosikan MEA ke seluruh masyarakat Indonesia menjadi cara awal untuk membangun kesadaran akan pasar bebas di Asia Tenggara. Ia juga mengaku optimis bahwa Indonesia akan memiliki daya juang yang baik dalam menghadapi MEA.
Indonesia memiliki luas wilayah tiga per empat dari luas Asia Tenggara. Secara matematis pula memiliki jumlah penduduk terbanyak di Asia Tenggara. Jika kesadaran itu tumbuh dalam diri seluruh masyarakat Indonesia, bukan tidak mungkin Indonesia akan menguasai pangsa perekonomian di Asia Tenggara.
Namun demikian, saat ini jumlah masyarakat Indonesia yang kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan masih cukup signifikan, terlebih bila konsep MEA diberlakukan. Kesulitan mencari pekerjaan yang layak masih menjadi problematika di Indonesia, meski tak dapat dipungkiri bahwa jumlah pengangguran semakin berkurang dari tahun ke tahun.
Masalah persaingan tenaga kerja ini diperparah dengan kenyataan bahwa sebagian industri di Tanah Air masih lebih mempercayai tenaga kerja asing ketimbang lokal. Tak sedikit tenaga kerja asing yang sudah fasih berbahasa Indonesia. Kegemaran memperkerjakan tenaga kerja asing bisa semakin mempersulit masyarakat Indonesia dalam bersaing di pasar bebas Asia Tenggara.
Faktor pendidikan dapat menjadi salah satu penyebabnya. Menurur data dari ASEAN Competitive Inbox, tingkat pendidikan di Indonesia berada di peringkat kelima. Masih kalah jauh dari negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura. Tingginya biaya pendidikan di Indonesia membuat tak banyak masyarakat yang mampu mengenyam pendidikan. Meskipun, sudah menjadi rahasia umum bahwa setidaknya harus menjadi lulusan sarjana untuk mendapat pekerjaan yang layak.
Namun, Indonesia bukan tanpa harapan. Konsep MEA mengharuskan setiap orang untuk memiliki sertifikat profesi dalam mencari pekerjaan. Sertifikat profesi ini merupakan hasil uji kompetensi yang dimiliki setiap calon pekerja. Walau akan tetap menjadi pertimbangan, tingkat pendidikan tidak menjadi aspek terpenting dalam memperoleh sertifikasi tersebut.
Tak perlu status pendidikan tinggi pun tak menjadi masalah, asal benar-benar mumpuni di bidang tertentu. Bukan tak mungkin seorang lulusan SD mendapat sertifikasi, asal ahli dalam bidang bercocok tanam, misalnya. Dengan demikian, masyarakat yang tak mampu mengenyam pendidikan tinggi juga bisa bersaing untuk dapat hidup layak.
Inilah kenyataan di Indonesia. Jika segala perubahan bisa dilakukan dengan baik, maka tak lagi perlu takut dalam menghadapi persaingan MEA. Siap tidak siap, pasar bebas ASEAN akan segera menantang Indonesia.
Penulis : Petrus Tomy | Ultimagz
Editor: Ghina Ghaliya | Ultimagz